Oct 3, 2010

Saat Kau Melebur Bersama Hujan


Rata Penuh

Sore hari. Sesaat setelah aku tenang tidak memikirkanmu. Hujan turun tepat saat jam berdentang tiga kali. Hatiku yang sebelumnya kering tentangmu, tiba-tiba banjir meluap-luap. Hatiku gusar. Hatiku basah. Hatiku tenggelam pada larutan kenangan bersamamu.

Aku mengingatmu saat hujan telah membasahi sepatuku, merembes pada kaos kakiku dan terserap kulit telapak kakiku. Aku berlarian mengejarmu yang tidak memakai payung.

Kenapa?
Tanyaku dalam hati. Hujan waktu itu seperti tangisanku yang tak bisa aku tunjukan padamu. Tangisan yang sudah aku tahan-tahan. Tangisan yang menurutmu aku sebagai lelaki tak pantas melakukaknnya. Dihadapanmu. Aku tidak berani menangis.

“Maafkan, aku harus pergi!”

Kata-kata terakhirmu menghujam keras pada hatiku. Aku tak berdaya setelah mendengar itu. Tubuhku lemas. Jantungku berdetak tak beraturan.
Hatiku sakit!
Remuk!
Terkoyak! terhanyutkan oleh deraian air hujan.

Kau terus lari sedapat kau lari. Aku diam. Sedapat aku menahan sakit.
Payung yang tadi kita bawa telah terhempas badai angin. Seperti hatiku yang telah rapuh tersapu, bertebaran kesegala arah. Kau terus lari sedapat aku diam dan kau terus lari sedapat aku telah hancur. Lebur bersama hujan.

Serpihan hatiku masih mencarimu. Berlari. Kesegala arah. Kesegala sudut. Kesegala lubuk terdalam. Semampu mataku yang dibanjiri air mata. Aku kini menangis sejadi-jadinya. Berlari secepat-cepatnya dan memanggil namamu sekeras-kerasnya.

Kembali!

Aku ingin kau kembali!
Perih hatiku tercampur air hujan.

Kenapa?

Pertanyaan. Tanya. Tanda tanya. Itu lagi. Berjejalan di otakku yang sempit. Membelit perasaanku. Bimbang dan membuatku tak seimbang. Sempoyongan dan akhirnya aku limbung. Jatuh tersungkur. Melebur sekali lagi bersama air hujan. Melebur dengan tanah merah yang bercampur darah. Mataku semakin terselubungi air hujan. Bias. Semakin tak jelas. Fenomena sore ini telah tertutup akhirnya.

“Selamat Pagi!” Sapa seorang perempuan berambut sebahu dengan baju batiknya. Dia menyapaku lembut sambil memberikan senyumnya yang manis.

Aku dimana? Tanyaku dalam hati.

“Mas istirahat saja, saya akan siap disini. Menjaga Mas. Mas jangan pergi lagi ya” cegah perempuan itu lembut.

Aku semakin dihimpit tanda tanya. Keningku berkerut.
Aku Siapa? Teriakku dalam hati!

Perempuan berbaju batik itu menyibakan gorden jendela yang seluruhnya putih. Langit yang tak cerah tersibak. Luas. Membentang. Namun ada awan mendung berlayar rendah. Bergumulan menutupi pandanganku menatap luasnya langit itu. Tiba-tiba garis bening yang terputus-putus berjatuhan. Aku mengingat jatuhan itu.

“Mas tenang saja. Disini aman. Disini terlindungi. Disini banyak payung dan yang paling penting disini tidak akan ada lagi hujan” suara perempuan itu mencoba menenangkan. Dan aku mencoba tenang. Bahuku terasa hangat ketika mendapat tepukan dari perempuan itu. Tepukan yang memberikan energi padaku agar lebih tenang. Ya, aku merasa tenang.

Aku terenyum padanya dan dia membalas senyumanku.
“ Garis bening yang terputus-putus itu namanya apa?” Tudingku keluar jendela.
“Itu Hujan Mas!” Jawab perempuan singkat lalu berlalu meninggalkanku.
Hujan. Sesaat aku merasa kebanjiran lagi.
Kebanjiran kenangan tentangmu lagi.

Rasa sakit itu lagi.
Kau?
Dimana sekarang?
Meleburkah bersama hujan waktu itu?
Aku menggigil. Saat jam sudah berdentang empat kali.
Hatiku yang sebelumnya kering tentangmu, tiba-tiba banjir meluap-luap. Hatiku gusar. Hatiku basah. Hatiku tenggelam pada larutan kenangan bersamamu.

NB:
Untuk Kau yang tak bosan mendengar cerita tentang aku yang bisa melebur bersama hujan

No comments:

Post a Comment

Terima Kasih sudah berkunjung.Happy Blogging